Seumur-umur saya gak pernah punya
bayangan nantinya bakal settle down di Bali. Sumpah! Waktu kecil saya palingan
pernah merengek-rengek ke ayah ibu saya supaya diajak tamasya ke Pantai Kuta.
Kenapa? Soalnya banyak dari temen sekelas saya di SD udah menginjakkan kaki di
Pulau Dewata. Dan tau dong gimana sekembalinya mereka dari liburan panjang
pasti yang di ceritain ya tentang gimana pengalaman mereka selama di Bali yang
pasti dijamin seru. Can you imagine betapa inginnya saya merasakan hal
yang sama. Tapi biar mohon-mohon dan nangis-nangis depan ayah ibu juga gak
bakalan terwujud. Masalahnya ya dana, ayah saya cuma bekerja sebagai pegawai
kecil di sebuah perusahaan yang bergerak di bidang marketing di Jakarta
Selatan. Ibu saya seorang penjahit dan terkadang nyambi jadi penata rias
pengantin itu juga gak sering-sering dapet job. Maka sulit sekalilah untuk
membayangkan kami bakal bisa berlibur ke Bali.*nelen ludah.
Pendapatan ayah saya hanya cukup
untuk kehidupan sehari-hari dengan cukup…saya gak bilang kurang ya sis…artinya
saya dan kakak bisa makan roti lauw setiap sore sebagai kudapan, bisa langganan
majalah bobo, bisa kursus electone, kursus balet, bisa minta stationary baru
setiap pengen penghapus yang lucu-lucu. Kecuali pergi ke Bali dan membeli
mobil. Kemana-mana kami berempat: ayah-ibu-kakak-saya selalu menggunakan motor
sebagai moda transportasi. Meski demikian kami selalu diajarkan supaya selalu
bersyukur pada Tuhan..selama kami selalu bersama itu sudah lebih dari cukup.
Kakak saya Amelialah yang
akhirnya membawa kami berempat ke Bali dua tahun kemudian. Kok Bisa? Waktu itu
sebuah produsen susu mengadakan sayembara berhadiah, saat itu jaman-jamannya
siapa yang paling banyak ngirim kotak pembungkus susu akan memiliki banyak
kesempatan memenangkan undian. Tidak ada diantara kami yang sadar kalau Kak
Amel selalu menyimpan kotak kemasan susu tiap kami membelinya, begitulah dia
pelan-pelan ngumpulin kotak kemasan dan ketika sayembara diadakan langsung dia
kirim meskipun harus memecahkan celengan ayamnya terlebih dulu supaya ada biaya
membeli perangko. Saya ingat waktu itu kakak mengirim hampir 50 kotak. Dua
bulan kemudian tak disangka-sangka nama Ayah tertulis di sebuah Koran terbitan
ibukota sebagai pemenang hadiah utama menginap selama 3 hari 2 malam di sebuah
hotel berbintang tepat di depan pantai Kuta. Ternyata kakak mengirimkan kemasan
itu atas nama ayah. Bukan main hebohnya kami ketika mengetahui ini, saya nangis
kesenangan, kakak berdoa dan ke gereja mengucap syukur, ayah ibu
terbengong-bengong dua hari saking kagetnya.
Long story short, akhirnya kami
sampai ke juga ke Bali, luar biasa indah, luar biasa ramai, pokoknya
menyenangkan sekali. Di Bali mulai dari akomodasi, transportasi, konsumsi
bahkan sampai ke uang saku kami di tanggung pihak penyelenggara. Benar-benar
mimpi yang terwujud. Sayangnya liburan itu teramat pendek dan kami semua
menangis terharu ketika akhirnya harus meninggalkan Bali. Tapi saya merasa
menjadi orang yang paling sedih, entah kenapa, ketika kembali lagi ke Jakarta
saya merasa hati saya tertinggal di Bali. Entah kapan akan kembali ke sana lagi….hiks..
Di kemudian hari setelah saya
dewasa akhirnya saya tahu kalau tinggal di Bali itu bukan hal yang mudah
ternyata. Ini sama sekali tidak berhubungan dengan uang ya…ada uang yang cukup
atau tidak. Sama sekali bukan. Tapi lebih kepada apakah Bali sendiri menerima
kamu sebagai bagian dari pulau itu. Ini sangat spiritual sekali. Teman saya Sandra
Lizt dari Swiss pernah bilang bahwa living in Bali it’s not as easy as you
might imagine, it’s either Bali will suck you in or spit you out. Kalau Bali
menerima kehadiran kamu untuk tinggal di dalamnya pasti kamu akan di buat betah
selama berada di sana tetapi kalau Bali tidak menerima kamu, dengan segera kamu
akan merasa gelisah dan panas didalam diri kamu selama di Bali dan menemui
berbagai macam masalah. Di Bali ada yang di sebut Taksu yaitu semacam kekuatan
spiritual yang menyelimuti setiap jengkal napas kehidupan. Bagi yang
menghormati tatakrama Bali dan tidak berbuat onar pastinya alam Bali akan
dengan senang hati menerima keberadaan kita. Tapi bagi yang menyimpan niat
buruk sebelum dilakukanpun alam Bali sendiri telah mengetahui dan kecil
kemungkinan bisa bertahan tinggal lama di Bali.
Untunglah setelah menikah dan
mengikuti suami tinggal di sini semua berjalan baik seperti yang sudah
direncanakan sejak semula. Alhamdulillah-Astungkara-Puji Tuhan. Alam Bali di
sini sangat mendukung kehidupan dan kreatifitas kami sebagai warganya. Pada
postingan selanjutnya saya akan banyak membahas keunikan-keunikan Bali….ditunggu
ya friends…..
0 komentar:
Posting Komentar