Sejak dahulu sampai
sekarang saya tidak memiliki kartu kredit dan saya sama sekali tidak punya
rencana cadangan untuk memilikinya suatu waktu nanti.
Tak sedikit yang
terheran-heran mengetahui hal ini, ada yang tertawa mengejek, ada yang langsung
membaptis saya dengan sebutan or-ja-dul alias orang jaman dulu, ada yang apatis
dan ada pula yang menasihati saya kegunaan mujarab kartu ajaib ini seolah-olah dengan
tidak memilikinya adalah suatu kecacatan sosial.
Di jaman teknologi
kekinian, memiliki kartu kredit sudah hampir identik dengan memiliki kartu
identitas. Tingkat keekslusifan kartunya pun menjadi pembanding antara pribadi
yang sukses dan kaum kebanyakan. Yang berbasis gold card diyakini sebagai orang
yang cemerlang dan gemilang dalam karir, yang pakai kartu standard ya se-standard
kartunya, meskipun bagi pihak bank penerbit kartu, mereka adalah ceruk market empuk
yang menguntungkan tapi di mata khalayak, pemegang kartu standard tetap kalah
pamor dari yang gold.
Meskipun saya di tahbiskan
teman-teman sebagai orang jaman dulu tentunya tidak sepenuhnya saya mutlak hidup
men-jadul. Saya memang tidak lagi membawa cash
seperti para ancestor di masa lalu tapi
saya juga punya kartu alakazzam yaitu kartu debit.
Kartu debit adalah kartu
ajaib saya. Saya sangat takut berhutang.
Saya di besarkan dari
keluarga yang akrab dengan saudara-saudara dari kedua belah pihak ayah dan ibu,
dari keluarga kakak ayah, adik ibu dan demikian seterusnya. Ketika kami
berkumpul bersama dalam acara-acara keluarga seperti arisan, tak jarang
terlontar curahan hati para paman, tante, sepupu bagaimana hancurnya hidup
mereka karena terlilit hutang kartu kredit. Mulai yang bangkrut secara materi
sampai yang porak poranda oleh karena tekanan mental akibat pressure yang mendera pasca penggunaan
kartu kredit secara sloppily.
Sebenarnya keberadaan
kartu kredit itu sejatinya adalah untuk membantu tiap-tiap holder-nya jika memahami apa dan bagaimana hakikat kartu kredit
seharusnya digunakan dan dikendalikan.
Kartu kredit adalah hutang
yang di berikan secara ramah tanpa kita harus memohon-mohon setengah mati
supaya di berikan seperti saat kita meminta pertolongan teman atau saudara saat
meminjam uang di waktu yang genting. Tapi sebagaimana layaknya hutang,
tagihannya pun harus sesegera mungkin di lunasi agar bunganya tidak membengkak.
Jalan terbaik dalam pengelolaannya hanya ada satu opsi yakni tidak membayar
kartu kredit secara mencicil, maksudnya nominal yang harus kita bayarkan adalah
sebesar nominal yang kita pinjam dalam kurun waktu 30 hari. Kalau anda nekat
mencicil apalagi dengan menggunakan plafon minimum
installment payment maka bersiaplah untuk segala konsekuensinya. Karena
dititik ini kartu kredit sudah tidak ramah lagi.
Ciri-ciri orang frugal
adalah anti berhutang. Jadi jika berminat memasuki wilayah kehidupan ala
frugal, gunting dulu kartu kredit anda. Orang frugal menyadari benar mengapa
mereka turn into frugality, dimana konsumerisme
things adalah tidak lagi menjadi point utama dalam hidupnya.
Orang frugal menjalani
hidup dengan berhemat. Orang frugal tidak peduli jika di katakan orang bahwa dia
tidak keren. Orang frugal tidak berkompetisi dengan orang lain untuk memiliki
suatu barang, jika seseorang begitu bangga dengan tas atau pakaian besutan
perancang kenamaan, orang frugal akan bangga mengenakan tas yang hanya di beli
di pasar atau pakaian hasil jahitan sendiri.
Orang frugal bukan berarti
orang miskin karena gaya hidupnya yang seolah-olah tidak mengikuti dinamisme lifestyle yang cepat berubah tapi
merupakan orang yang berupaya menahan diri dengan tidak membeli barang yang
dirasa tidak perlu untuk di beli dan lebih terdorong untuk membuat sendiri
segala sesuatu yang sebenarnya tidak perlu di dapatkan dengan jalan membeli.
Pada akhirnya orang frugal akan memiliki tabungan yang cukup dari hasil gaya
hidup yang ditekan keborosannya dan lebih memiliki kehidupan yang sustainable atau berkesinambungan.
Biasanya orang frugal tipe
pemula atau yang saya golongkan sebagai beginner
level masih berada di titik persimpangan antara keinginan menjadi frugal
dan masih kuatnya keinginan untuk tetap eksis di kehidupan sosial sebelumnya
yang sarat dengan kompetisi dalam hal membeli barang, seperti saat teman kita
sudah mengganti telepon selularnya dengan iPhone keluaran terbaru sedangkan milik
kita masih yang itu-itu saja. Mau membeli yang baru yang lama masih sangat
bagus kondisinya, kalau tidak ikutan beli wah malu dan gengsi dong. Tapi
bagaimana sedangkan kondisi keuangan kurang bersahabat.
Tipe pemula ini harus
bertanya lagi pada diri sendiri apakah secara mental dia sudah siap untuk
menjadi frugal. Tentunya menjadi frugal bukan berarti kita serta merta menarik
diri dari kehidupan sosial, hanya saja kita sudah keluar dari arena sirkuit persaingan
dalam hal membelanjakan barang dan kita tegas mengatakan bahwa kita menjadi
frugal karena untuk alasan penghematan.
Ada pemeo berbunyi seperti
ini, “Frugal people have thrown their
pride away to the next Tuesday!” Kurang lebih artinya penganut frugality sudah tidak lagi berada pada
titik bahwa ia harus memusingkan apa kata orang atau berusaha keras menjaga
gengsi untuk tetap seolah berada di posisi tinggi. Tidak! Orang frugal sudah one step ahead dan lebih dewasa secara
mental. Yang dilakukan sekarang adalah menjalani hidup dengan baik sehemat
mungkin, mengasah dan memberdayagunakan ketrampilan pribadi untuk tetap dapat
berada pada standar hidup yang di targetkan.
So, are you ready to join
the club?
LOL
0 komentar:
Posting Komentar